
Ramadan di Sudan: Tradisi yang Hidup di Tengah Perang dan Harapan
Penulis: Fityan
TVRINews, Sudan
Ramadan di Sudan selalu dipenuhi dengan tradisi yang diwariskan turun-temurun, menciptakan ikatan kuat di antara keluarga, masyarakat, dan agama.
Di tengah pertempuran sengit yang terus berlangsung di negara ini, semangat Ramadan tetap hidup, bahkan jika beberapa kebiasaan sulit untuk dilaksanakan. Namun, tradisi yang menguatkan solidaritas, kebersamaan, dan rasa berbagi tetap ada, meskipun di tengah tantangan yang luar biasa.
Salah satu tradisi yang paling dihargai adalah iftar, atau "fatoor" seperti yang disebut orang Sudan, yaitu makan malam yang menandai berbuka puasa. Makanan khas seperti mulah (stew khas Sudan), foul (kacang fava), dan ta’amiya (falafel Sudan) selalu ada di meja jikatar.
Setiap bahan dalam hidangan ini memiliki cerita dan proses persiapan yang panjang, dimulai jauh sebelum Ramadan dimulai. Wanita rumah tangga biasanya mempersiapkan bahan-bahan seperti daging yang dijemur matahari, okra kering, dan bubuk bawang yang semuanya disimpan untuk digunakan sepanjang bulan suci. Kelezatan makanan ini menjadi simbol dari kerja keras dan persatuan keluarga.
Selain iftar, tradisi suhoor (sahur) juga memiliki peran penting. Meskipun biasanya lebih sederhana, makanan seperti rugag (sejenis crepe kering) yang dicampur dengan susu dan gula memberikan energi dan hidrasi yang diperlukan selama berpuasa.
Selain itu, di beberapa daerah, el mesaharaty menjadi rutinitas yang menyenangkan di mana anak-anak berjalan keliling sambil memukul drum untuk membangunkan orang-orang agar bersiap untuk sahur.
Di tengah kesulitan yang dihadapi oleh banyak keluarga yang terlantar akibat perang, semangat kebersamaan yang ditunjukkan melalui berbagi tetap terasa. Di banyak tempat, masyarakat masih mengadakan iftar jalanan di mana mereka berbagi makanan dengan sesama, bahkan dengan orang asing yang sedang lewat.
Di kota-kota yang lebih aman, seperti Port Sudan, tradisi ini masih dijalankan meskipun ada pembatasan akibat konflik yang terjadi di bagian lain negara.
Minuman khas seperti hilo mur (air asam manis) yang terbuat dari adonan sorgum, menjadi pelepas dahaga yang menyegarkan setelah berpuasa. Proses pembuatannya yang rumit namun penuh makna, menggambarkan kedalaman tradisi yang telah bertahan meskipun tantangan besar menghadang.
Sementara itu, di wilayah yang terkena dampak langsung dari perang hampir dua tahun ini, seperti Darfur dan Kordofan, situasi semakin mencekam. Kelaparan, pemindahan paksa, dan kekurangan barang kebutuhan pokok telah mengaburkan semangat kebersamaan yang biasa hadir selama Ramadan.
Di beberapa wilayah ini, pasokan pangan hampir habis dan kelaparan mulai merajalela. Di kamp-kamp pengungsian di Darfur Utara, kelaparan mengancam jutaan orang, sementara bantuan kemanusiaan kesulitan menjangkau mereka.
Di tengah krisis ini, tradisi Ramadan yang penuh dengan kebaikan dan solidaritas perlahan menghilang. Di masa lalu, relawan sering kali berkeliling membagikan hidangan iftar kepada mereka yang tidak bisa pulang tepat waktu. Namun kini, di tengah perang dan kekurangan barang, tradisi tersebut hampir punah.
Ramadan tahun ini di Sudan bukan hanya tentang berpuasa, tetapi juga tentang bertahan hidup dalam bayang-bayang perang dan kelaparan yang semakin mendalam
Editor: Redaktur TVRINews