
Warga desa yang mengungsi menunggu pembagian makanan di provinsi Surin, Thailand, 11 Desember 2025.( Foto: Rungroj Yongrit/EPA)
Penulis: Fityan
TVRINews – Ubon Ratchathani, Thailand
Eksodus Massal: Warga Thailand Takut Perang Berlarut-larut
Ribuan warga sipil Thailand yang mengungsi akibat pecahnya kembali bentrokan bersenjata di perbatasan dengan Kamboja menyuarakan keraguan mendalam mengenai kemampuan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, untuk mengakhiri konflik yang terus membara.
Ratusan ribu penduduk di kedua sisi perbatasan telah meninggalkan rumah mereka menyusul bentrokan sengit yang kembali meletus pada hari Minggu 7 Desember 2025. Gencatan senjata yang ditengahi oleh Trump pada bulan Juli, yang saat itu memproklamirkan dirinya sebagai "Presiden PERDAMAIAN," kini terancam gagal total.
Rangsan Angda (50), salah satu warga yang mengungsi dari daerah perbatasan, mengaku telah menyiapkan tasnya jauh sebelum pengumuman evakuasi darurat pada hari Minggu. Ia dan banyak tetangganya telah lama khawatir kesepakatan damai itu rapuh.
“Kedua belah pihak saling berhadapan sepanjang waktu,” ujar Angda, menggambarkan situasi yang tegang sejak gencatan senjata ditandatangani.
Bentrokan terbaru ini memicu eksodus kedua kalinya dalam tahun ini. Lebih dari 500.000 orang di Kamboja dan Thailand kini terdampar di kuil, sekolah, dan gedung pemerintah, mengantre di jalanan yang macet, tanpa mengetahui kapan mereka bisa kembali ke rumah.
Keraguan atas Pengaruh AS
Meskipun Trump, yang mengawasi penandatanganan perjanjian gencatan senjata yang diperkuat pada Oktober, menyatakan kepada wartawan bahwa ia dapat menghentikan bentrokan "cukup cepat" melalui panggilan telepon kepada para pemimpin kedua negara, keyakinan ini tidak diamini oleh para pengungsi di tempat penampungan.
“Jika dia benar-benar punya kuasa untuk membereskan konflik, tidak akan ada perang ini sekarang,” kata Patcharee Kotmakti (45), yang meninggalkan rumahnya pada hari Senin saat tembakan pertama kali terdengar.
Kotmakti, yang harus mengungsi setelah rumahnya bergetar akibat bentrokan empat bulan lalu, kini khawatir pertempuran akan berlarut-larut. “
Saya tidak akan bisa memenuhi kebutuhan hidup,” keluhnya. Ia menjelaskan bahwa banyak tetangganya bergantung pada pekerjaan harian dan kini terpaksa berutang untuk bertahan hidup.
“Semua orang punya pendapat masing-masing,” kata seorang wanita lansia kepada The Guardian jumat 12 Desember 2025 di tempat penampungan Ubon Ratchathani dengan bijak, menanggapi klaim Trump yang berani membawa perdamaian.
Analisis Nasionalisme dan Mediasi
Intervensi AS sebelumnya, di mana Trump menggunakan ancaman tarif, dipandang "benar-benar penting" dalam mengakhiri bentrokan sebelumnya, menurut Dr. Napon Jatusripitak, seorang visiting fellow di ISEAS – Yusof Ishak Institute. Sebelumnya, Thailand menolak semua mediasi pihak ketiga.
Namun, Jatusripitak memperingatkan bahwa pengaruh Trump saat ini mungkin berbeda. Dengan pemilu Thailand yang akan datang pada tahun 2026, Perdana Menteri Anutin Charnvirakul mungkin memilih untuk menarik sentimen nasionalis dengan bersikeras bahwa Thailand bertindak sah dalam mempertahankan kedaulatan wilayahnya.
“Hal ini dapat beresonansi dengan sebagian besar warga Thailand yang memandang Kamboja sebagai pihak yang memicu krisis dan Amerika Serikat mengerahkan tekanan yang tidak beralasan pada Bangkok,” kata Jatusripitak. “Ini adalah momen di mana dia tidak bisa terlihat lemah.”
Jajak pendapat pada bulan Agustus menunjukkan keraguan publik Thailand terhadap intervensi asing; hampir dua pertiga responden percaya campur tangan itu adalah demi kepentingan negara adidaya, bukan Thailand.
Suara Kemanusiaan dari Pengungsi
Di tengah perselisihan politik dan militer, suara-suara kemanusiaan muncul dari kamp-kamp pengungsian. Kepala Staf Angkatan Darat Kerajaan Thailand, Jenderal Chaiyapruek Duangprapat, menyatakan kepada media bahwa militer bertujuan untuk melumpuhkan kemampuan militer Kamboja sebagai ancaman jangka panjang.
Namun, tidak semua pengungsi setuju dengan pendekatan militeristik.
“Saya tidak ingin ada orang yang mengalami kerugian. Saya merasa kasihan pada para prajurit, pada keluarga dan anak-anak mereka. Tentara Kamboja juga punya keluarga. Saya pikir mereka tidak menginginkan perang,” ujar Rinda Metmat (44), seorang pengungsi.
Bahkan ada yang pesimistis bahwa negosiasi dapat berhasil, terlepas dari siapa pun yang terlibat.
“Ini tidak akan berakhir tidak peduli berapa banyak pihak yang terlibat [dalam pembicaraan], dua negara atau dengan pihak ketiga, itu tidak akan terselesaikan,” kata Rangsan Angda. “Berbicara sepertinya tidak pernah menghasilkan apa-apa.”
Editor: Redaksi TVRINews
