
Presiden AS Donald Trump (Kanan) dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Bandara Internasional Ben Gurion Israel 13 Oktober 2025 [Foto: Al Jazeera/ Somodevilla]
Penulis: Fityan
TVRINews – Washington DC
Perbedaan visi antara dominasi militer Israel dan kebijakan "America First" memicu ketegangan diplomatik jelang pertemuan Mar-a-Lago.
Perdana menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dijadwalkan bertemu Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Florida pada Minggu 28 Desember 2025 Besok.
Pertemuan ini terjadi di tengah meningkatnya tekanan dari Israel agar AS mengambil tindakan militer lebih tegas terhadap program rudal Iran.
Langkah Netanyahu ini diprediksi akan berbenturan dengan agenda kebijakan luar negeri Trump yang lebih memprioritaskan stabilitas kawasan dan pengurangan keterlibatan militer AS di luar negeri.
Pergeseran Fokus Ancaman
Setelah serangan AS terhadap fasilitas nuklir Teheran pada Juni lalu, Israel kini mengalihkan fokusnya pada program rudal balistik Iran sebagai ancaman utama. Namun, para analis menilai langkah ini merupakan upaya untuk menjaga tekanan konstan terhadap Iran.
"Netanyahu mendorong Amerika Serikat untuk bergabung dalam perang lain melawan Iran, kali ini dengan fokus pada rudal," ujar Trita Parsi, Wakil Presiden Eksekutif Quincy Institute.
Menurutnya, pergeseran target ini dilakukan karena Trump merasa masalah nuklir sudah selesai setelah serangan bulan Juni.
Parsi menambahkan, "Israel akan terus menggeser parameter target guna memastikan konfrontasi dengan Iran menjadi perang yang tak berujung."
Visi yang Saling Bertolak Belakang
Sina Toossi, peneliti senior di Center for International Policy, menyoroti adanya jurang antara keinginan Israel untuk hegemoni regional dengan keinginan Trump untuk kerja sama ekonomi.
"Keinginan untuk keterlibatan AS yang abadi dalam perang melawan Iran mencerminkan tujuan Israel untuk dominasi yang tidak tertandingi. Ini akan berbenturan dengan kepentingan AS yang menginginkan stabilitas tanpa keterlibatan militer langsung," jelas Toossi.
Di sisi lain, basis pendukung "America First" milik Trump secara vokal menentang intervensi militer baru. Tokoh media seperti Tucker Carlson bahkan menyebut desakan terus-menerus dari Israel sebagai bentuk "hubungan parasit."
Risiko Eskalasi yang Tak Terkendali
Meskipun Trump berhasil menghindari konflik berkepanjangan pada bulan Juni lalu, para ahli memperingatkan bahwa serangan berikutnya mungkin tidak akan berakhir semudah itu.
Iran diperkirakan akan memberikan respons yang jauh lebih keras jika merasa dipojokkan secara terus-menerus.
Hingga saat ini, Teheran tetap menegaskan bahwa program nuklir mereka bersifat damai. Namun, dengan desakan dari donor pro-Israel dan politisi garis keras di Washington, Trump berada di posisi sulit antara memenuhi tuntutan sekutu dekatnya atau menjaga janji kampanyenya kepada para pemilih untuk menjauhi "perang abadi."
Editor: Redaktur TVRINews
