Penulis: Fityan
TVRInews - New Delhi
Setelah bentrokan berdarah 2020, India dan China mulai menjalin ulang hubungan diplomatik dan ekonomi namun kecurigaan strategis dan sengketa wilayah tetap menjadi batu sandungan.
Setelah bertahun-tahun diliputi ketegangan dan konflik militer di perbatasan Himalaya, India dan China tampaknya mulai membuka jalan untuk merajut kembali hubungan yang sempat beku. Namun, di balik upaya diplomatik yang makin intens, bayang-bayang kecurigaan dan sengketa wilayah yang belum terselesaikan masih kuat terasa.
Kunjungan dua pejabat senior India ke China pada akhir Juni lalu menjadi sinyal mencairnya kebekuan hubungan bilateral. Menteri Pertahanan India Rajnath Singh dan Penasihat Keamanan Nasional Ajit Doval hadir dalam pertemuan Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO), menandai kunjungan tingkat tinggi pertama India ke China dalam lima tahun terakhir.
Namun, akar konflik tetap membara. Sengketa perbatasan sepanjang 3.440 km yang tidak jelas batasnya kerap memicu gesekan. Puncaknya terjadi pada Juni 2020 di Lembah Galwan, Ladakh, yang menewaskan 20 tentara India dan empat tentara China. Sejak saat itu, konfrontasi di beberapa titik terus terjadi.
Meski demikian, kedua negara telah mengambil sejumlah langkah untuk memperbaiki hubungan. Sejak akhir 2023, keduanya sepakat menyelesaikan titik-titik konflik di Ladakh. Pada Januari 2025, penerbangan langsung dibuka kembali, pembatasan visa dilonggarkan, dan peziarah India diizinkan kembali ke Gunung Kailash di Tibet setelah enam tahun tertunda.
“India memerlukan stabilitas di perbatasan demi menjaga kelancaran perdagangan dengan China yang mencapai lebih dari US$127 miliar tahun lalu,” kata Phunchok Stobdan, mantan diplomat senior India.
Namun relasi ini tetap dihantui oleh kalkulasi geopolitik yang kompleks. Beijing mencurigai India sebagai alat strategis Barat untuk menahan pengaruhnya. Di sisi lain, New Delhi mulai meragukan komitmen Amerika Serikat dalam menjamin keamanannya terutama setelah Presiden AS Donald Trump, dalam periode keduanya, mengklaim menjadi mediator konflik India-Pakistan tanpa persetujuan India.
Dalam konflik perbatasan baru-baru ini dengan Pakistan, India dikejutkan oleh penggunaan senjata canggih buatan China oleh militer Pakistan, termasuk jet tempur dan sistem rudal.
Menurut Prof. Christopher Clary dari University at Albany, “India merasa tidak mendapatkan dukungan strategis penuh dari AS seperti yang mereka harapkan. Kini, Delhi mulai lebih realistis dan membuka komunikasi dengan Beijing.”
Hubungan dengan Rusia juga menjadi pertimbangan. Ketergantungan Moskow terhadap China pascaperang Ukraina membuat India khawatir Rusia akan berpihak pada Beijing jika konflik India-China kembali memanas.
Secara ekonomi, China masih menjadi sumber utama bagi kebutuhan industri India, termasuk pasokan magnet tanah jarang dan pupuk. Namun, pembatasan ekspor yang diberlakukan China sejak April 2025 mengancam kelangsungan sektor manufaktur dan pertanian India. Asosiasi industri otomotif India bahkan memperingatkan risiko penurunan produksi.
Sementara itu, China belum menunjukkan keinginan untuk mengalah dalam sengketa wilayah lain. Klaim sepihak terhadap negara bagian Arunachal Pradesh, yang oleh Beijing disebut sebagai “Tibet Selatan”, terus digaungkan. India menegaskan wilayah itu adalah bagian sah dari negaranya.
“Jika kedua negara tetap memegang teguh kedaulatan absolut, maka konflik tidak akan pernah selesai,” ujar Prof. Shen Dingli dari Universitas Fudan, Shanghai.
Meski kesepakatan jangka panjang soal perbatasan masih jauh dari harapan, baik India maupun China tampaknya memilih pendekatan pragmatis: menjalin hubungan kerja sama yang saling menguntungkan dan menghindari ketegangan terbuka—ketimbang bergantung pada kekuatan blok global mana pun.
Baca juga: Menlu RI: ASEAN Harus Kompak Hadapi Myanmar, Laut China Selatan, dan Kejahatan Siber
Editor: Redaksi TVRINews