
Foto: Pengamat Maritim Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa (Dok. Istimewa)
Penulis: Christhoper Natanael Raja
TVRINews, Jakarta
Sengketa penamaan wilayah maritim antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat setelah pada 7 Agustus 2025 pemerintah Malaysia menolak penggunaan istilah 'Laut Ambalat' untuk menyebut wilayah sengketa di perairan Laut Sulawesi.
Penolakan ini dinilai sejumlah pihak bukan sekadar persoalan nama, tetapi bagian dari strategi klaim kedaulatan yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa menilai sikap Malaysia merupakan langkah strategis membentuk persepsi internasional.
Menurutnya, nama wilayah dalam diplomasi maritim bukan hanya simbol, melainkan perangkat hukum dan politik yang memengaruhi legitimasi klaim.
"Dalam diplomasi maritim, nama bukan sekadar simbol. Ia adalah perangkat hukum dan politik yang dapat memengaruhi legitimasi klaim suatu negara atas wilayah tertentu," ujar Capt. Hakeng kepada tvrinews.com, Jumat, 8 Agustus 2025.
Istilah 'Ambalat', jelas Capt. Hakeng, sudah lama digunakan Indonesia dalam peta resmi, dokumen diplomatik, dan proses teknis sebagai bagian dari klaim sah terhadap Blok ND6 dan ND7 yang kaya sumber daya migas.
Sementara itu, Malaysia sejak Peta Baru 1979 mencantumkan wilayah itu sebagai bagian dari zona ekonomi eksklusifnya dan menyebutnya sebagai 'Laut Sulawesi'.
Meski Mahkamah Internasional (ICJ) pada 2002 memutuskan Pulau Sipadan dan Ligitan milik Malaysia, Capt. Hakeng menegaskan putusan itu tidak mengatur batas laut di sekitarnya.
"Putusan ICJ 2002 hanya menyangkut kepemilikan dua pulau kecil, Sipadan dan Ligitan. Ia tidak memberikan keputusan atas batas laut di kawasan itu. Jadi menggunakan putusan itu untuk membenarkan klaim atas Ambalat, adalah bentuk perluasan tafsir yang lemah secara hukum internasional," ucap Capt. Hakeng.
Oleh karena itu, menurutnya, klaim Malaysia atas Ambalat dengan merujuk putusan tersebut lemah secara hukum internasional.
Di tengah memanasnya polemik, Presiden RI Prabowo Subianto menegaskan Indonesia tidak menginginkan konflik terbuka dengan Malaysia. Capt. Hakeng menyebut sikap ini menunjukkan pendekatan “peaceful assertiveness”, tegas menjaga kedaulatan, tetapi tetap mengutamakan dialog.
"Pak Presiden Prabowo memahami bahwa kedaulatan itu penting, tetapi beliau juga sangat sadar bahwa hubungan diplomatik yang stabil jauh lebih bernilai dalam jangka panjang," kata Capt. Hakeng.
Ia menilai langkah yang bisa diambil adalah membuka peluang kerja sama melalui skema Joint Development Authority (JDA), yang memungkinkan kedua negara mengelola wilayah sengketa bersama.
Model ini disebut sudah sempat dibahas dalam pertemuan Presiden Prabowo dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim pada Juni 2025.
"Indonesia dan Malaysia bisa menjadi contoh dunia bahwa sengketa maritim tidak harus diselesaikan dengan konflik. Justru, dari sini bisa tumbuh kerja sama yang produktif jika ada political will yang kuat," tutur Capt. Hakeng.
Menurut Capt. Hakeng, JDA dapat menurunkan ketegangan sekaligus memberi manfaat ekonomi, asalkan disusun dengan hati-hati agar tidak melemahkan posisi hukum Indonesia.
Ia juga menekankan perlunya melibatkan masyarakat pesisir di Kalimantan Utara dalam pengawasan dan pembangunan.
Hingga kini, kedua negara memilih menahan diri. Tidak ada provokasi militer atau manuver agresif, dan dialog tetap dilakukan melalui jalur bilateral serta forum ASEAN.
Capt. Hakeng meyakini sengketa ini bisa menjadi contoh bahwa kedaulatan dan perdamaian dapat berjalan beriringan jika ada kemauan politik yang kuat.
“Melalui diplomasi tenang, kerja sama pragmatis, dan konsistensi dalam menjaga prinsip hukum, Indonesia menunjukkan bahwa kedaulatan dan perdamaian bisa berjalan beriringan,” kata Capt. Hakeng.
Baca Juga: Amnesty Internasional Minta Polisi Inggris Tak Tangkap Pendukung Palestine Action
Editor: Redaksi TVRINews