Penulis: Fityan
TVRINews - Yangon, Myanmar
Rezim Militer Menggelar Pemungutan Suara Bertahap yang Menuai Kecaman Internasional dan Boikot Oposisi.
Myanmar memulai proses pemilihan umum yang dilaksanakan secara bertahap di tengah bayang-bayang konflik internal yang melumpuhkan sebagian besar wilayah negara tersebut.
Langkah ini dipandang luas oleh komunitas internasional sebagai upaya junta militer untuk melegitimasi kekuasaan mereka setelah kudeta tahun 2021.
Pemungutan suara ini dijadwalkan berlangsung dalam tiga fase selama satu bulan ke depan, mencakup 274 dari total 330 kota kecil di Myanmar.
Namun, keraguan besar menyelimuti kredibilitas proses ini mengingat hampir separuh wilayah negara masih berada di bawah kendali
kelompok perlawanan atau dianggap terlalu tidak stabil untuk menyelenggarakan pemungutan suara.
Legitimasi di Tengah Tekanan
Analis menilai bahwa junta, yang mendapat dukungan dari Tiongkok, sedang mencari jalan keluar dari kebuntuan politik dan ekonomi yang menghancurkan.
Meski demikian, transisi ini dilakukan dengan tindakan keras terhadap perbedaan pendapat.
Berdasarkan undang-undang baru, lebih dari 200 orang telah didakwa karena dianggap mengganggu proses pemilu, dengan ancaman hukuman yang mencakup hukuman mati.
Komisioner Tinggi HAM PBB, Volker Türk, menyatakan keprihatinan mendalam atas kondisi demokrasi di sana.
"Tidak ada ruang bagi kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai, atau berserikat," tegas Türk dalam pernyataan resminya pada Sabtu 27 Desember 2025.
Ia menambahkan bahwa warga sipil saat ini terjepit di antara tekanan junta dan ancaman boikot dari kelompok pemberontak.
Oposisi yang Dilumpuhkan
Struktur politik dalam pemilu ini telah berubah drastis setelah pembubaran sekitar 40 partai politik, termasuk Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi. Suu Kyi, yang memenangkan pemilu 2015 dan 2020 secara mutlak, saat ini masih mendekam di penjara atas tuduhan yang oleh banyak pihak dianggap bermotif politik.
Sebagai gantinya, pemilu kali ini didominasi oleh Partai Solidaritas dan Pembangunan Persatuan (USDP) yang didukung militer, serta puluhan partai kecil lainnya yang hanya bertarung di tingkat regional.
Htin Kyaw Aye, juru bicara lembaga pemantau pemilu Spring Sprouts, mengatakan kepada kantor berita Myanmar Now bahwa sistem bertahap ini memberikan celah bagi otoritas untuk memanipulasi keadaan.
"Dengan membagi pemungutan suara menjadi beberapa fase, penguasa dapat menyesuaikan taktik jika hasil awal tidak sesuai dengan keinginan mereka," jelasnya.
Editor: Redaksi TVRINews
