
Foto bersama pemimpin dan pejabat di KTT darurat Arab-Islam 2025 di Doha senin 15/9 (Foto : Kantor Berita Qatar/AFP)
Penulis: Fityan
TVRINews – Doha, Qatar
Serangan Israel di Doha Picu Kemarahan Pemimpin Dunia, Disebut 'Perilaku Kriminal' yang Mengancam Perdamaian
Para pemimpin dari hampir 60 negara Arab dan Islam berkumpul di Doha, Qatar, dalam sebuah KTT darurat yang mengecam serangan udara Israel terhadap ibukota Qatar pekan lalu. Pertemuan gabungan Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) ini bertujuan mengirimkan pesan tegas dan bersatu setelah apa yang mereka sebut sebagai eskalasi tak terduga dari Israel.
Serangan Israel yang menargetkan kediaman keluarga dan delegasi perunding Hamas di Doha menewaskan sedikitnya enam orang. Insiden ini terjadi saat delegasi Hamas bertemu untuk membahas proposal gencatan senjata yang didukung Amerika Serikat, memicu kecaman keras dari berbagai negara di seluruh dunia.
Dalam pidato pembukaannya, Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, menyatakan bahwa ibukota negaranya menjadi sasaran "serangan berbahaya". Ia menuduh Israel tidak tertarik mengakhiri perang di Gaza dan justru berusaha "menggagalkan negosiasi".
"Jika Anda bersikeras membebaskan sandera, mengapa mereka membunuh semua negosiator? Bagaimana kami bisa menerima delegasi perunding dari Israel di negara kami, sementara mereka mengirimkan drone dan pesawat untuk melancarkan serangan udara terhadap negara kami?" ujar Sheikh Tamim, dikutip dari sumber berita Al Jazeera English.
Suara-suara Petinggi Dunia
Kecaman tak hanya datang dari Qatar. Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, menyebut serangan itu sebagai "tindakan kriminal" dan menuduh pemerintah Benjamin Netanyahu sengaja ingin melanjutkan pembantaian dan menyeret kawasan ke dalam kekacauan. "Ada mentalitas serakah dan haus darah di antara para pejabat Israel," tambahnya, menyerukan tekanan ekonomi terhadap Israel.
Senada dengan Erdogan, Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi memperingatkan bahwa "perilaku Israel yang tidak terkendali akan memperburuk konflik dan mengacaukan kawasan." Ia menegaskan bahwa keamanan Israel tidak akan tercapai dengan kekerasan, melainkan dengan menghormati kedaulatan negara lain.
Dari Iran, Presiden Masoud Pezeshkian menyerukan persatuan dan solidaritas untuk melawan Israel. Ia bahkan mengusulkan negara-negara Islam "memutus hubungan dengan rezim palsu ini" sebagai bentuk perlawanan.
Sementara itu, Perdana Menteri Irak, Mohammed Shia al-Sudani, menekankan pentingnya beralih dari sekadar kecaman menjadi "tindakan kolektif yang terkoordinasi", termasuk membentuk komite gabungan untuk menyampaikan posisi mereka ke PBB.
Seruan untuk Tindakan Nyata
Kekesalan terhadap Israel juga diungkapkan oleh pemimpin negara lain. Raja Yordania, Abdullah II, menyebut serangan di Doha sebagai "bukti nyata" bahwa ancaman Israel "tanpa batas." Ia menyerukan respons yang "jelas, tegas, dan, di atas segalanya, menghalau."
Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, meminta komunitas internasional untuk "bertanggung jawab" dan menindak Israel. Ia menegaskan bahwa "pemerintah sayap kanan radikal Israel tidak bisa menjadi mitra bagi perdamaian dan keamanan di kawasan."
Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, menekankan bahwa kecaman saja tidak cukup. "Kecaman tidak akan menghentikan rudal. Deklarasi tidak akan membebaskan Palestina. Tindakan hukuman yang berat harus diterapkan. Hubungan diplomatik harus dihentikan, begitu juga dengan hubungan dengan Israel," tegasnya, dikutip dari sumber berita yang sama.
Sedangkan Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, juga ikut bersuara, menyatakan bahwa masalah Palestina bukan hanya tentang Palestina. "Ini tentang kelangsungan hidup bangsa-bangsa kita, martabat rakyat kita, dan kesucian hukum internasional," ujarnya, menyerukan Dewan Keamanan PBB untuk mengambil tindakan tegas.seperti dikutip Al Jazeera
Pesan Persatuan dan Perlawanan
Pernyataan dari para pemimpin ini mencerminkan kekhawatiran mendalam terhadap tindakan Israel yang dinilai semakin berani dan melanggar hukum internasional. Sekretaris Jenderal Liga Arab, Ahmed Aboul Gheit, menyatakan bahwa sudah saatnya untuk "cukup diam" terhadap tindakan "premanisme" oleh negara yang ia sebut sebagai "negara nakal" itu.
"Diam terhadap kriminalitas itu sendiri adalah sebuah kejahatan," tegasnya, "Keheningan ini telah memberanikan tentara Israel untuk merasa bahwa setiap tindakan mungkin dilakukan dan setiap kejahatan bisa lolos tanpa hukuman."
KTT ini diakhiri dengan seruan serentak untuk mengakhiri agresi Israel, menuntut pertanggungjawaban, dan menegaskan komitmen kolektif terhadap perdamaian dan solusi dua negara.
Editor: Redaksi TVRINews