
Rapid Support Forces (RSF) merilis sebuah foto yang menunjukkan salah satu pejuang mereka sendiri yang dikenal sebagai Abu Lulu (kiri) sedang ditangkap di El Fasher. (Foto: Rapid Support Forces/AFP)
Writer: Fityan
TVRINews – El Faser, Sudan
Komandan Paramiliter Ditahan, Tapi Dituding Pengalihan Isu Genosida Sistematis RSF.
Pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) Sudan mengklaim telah menahan beberapa pejuang mereka, termasuk komandan yang diidentifikasi sebagai Abu Lulu, setelah meningkatnya kemarahan global atas meluasnya pembunuhan di kota El Fasher.
Langkah ini, bagaimanapun, disambut skeptis oleh para aktivis hak asasi manusia dan masyarakat Sudan, yang melihatnya sebagai upaya meredam kritik atas kekerasan yang terjadi.
Abu Lulu menjadi fokus kemarahan publik setelah muncul dalam berbagai video pasca-serangan di El Fasher yang memperlihatkan para pejuang RSF mengeksekusi warga sipil.
Media RSF menunjukkan penangkapan Abu Lulu dan membawanya ke sel penjara.
Langkah RSF ini dituding hanya sebagai 'aksi public relations' untuk mengalihkan perhatian dari tanggung jawab yang lebih besar.
Mohamed Suliman, seorang peneliti dan penulis Sudan yang tinggal di Boston, berpendapat:
"Penahanan Abu Lulu tampaknya merupakan aksi PR untuk membelokkan kemarahan global dan mengalihkan perhatian dari tanggung jawab milisi atas pembantaian ini. Namun, banyak warga Sudan tidak termakan hal ini dan meluncurkan tagar: 'Kalian semua adalah Abu Lulu' – yang berarti seluruh milisi bertindak seperti dia."
Setelah penangkapan itu, gambar-gambar pemimpin RSF, termasuk kepala milisi Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti), beredar di media sosial dengan tulisan "Abu Lulu" di bawah wajah mereka.
Penyelidik sumber terbuka dari Centre for Information Resilience juga memverifikasi gambar yang menunjukkan saudara laki-laki dan wakil Hemedti, Abdul Rahim Dagalo, hadir di El Fasher selama serangan tersebut.
Para aktivis menegaskan bahwa RSF tidak dapat menginvestigasi diri mereka sendiri, mengingat asal-usul mereka dari milisi berbasis etnis Janjaweed yang melakukan pembantaian di Darfur pada tahun 2000-an.
Hala al-Karib, seorang aktivis terkemuka Sudan yang fokus pada kekerasan terhadap perempuan dari Strategic Initiative for Women in the Horn of Africa (SIHA), menyebut fokus pada penangkapan satu orang sebagai "lelucon menyakitkan" yang dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian dari skala kekerasan yang dilakukan RSF.
"Ada ketiadaan akuntabilitas dan ketidakpedulian terhadap kemanusiaan kami. Ratusan ribu warga Sudan telah binasa setiap hari, dan gadis-gadis muda dan wanita telah diperkosa secara kejam selama tiga tahun terakhir. Namun, yang mereka lakukan hanyalah mencoba membungkam penderitaan kami," kata Karib.
Senada, Shayna Lewis, spesialis Sudan di Preventing and Ending Mass Atrocities, menyebut taktik RSF sebagai 'pengalihan'.
"Taktik oleh RSF ini adalah pengalihan. Mereka berusaha menunjukkan bahwa pembantaian di lapangan adalah pekerjaan segelintir tentara nakal, alih-alih kebijakan genosida yang sistematis, yang telah kita lihat sejak hari-hari awal perang, dilakukan oleh RSF, terutama di Darfur. Klaim akuntabilitas ini terasa hampa. Ini adalah sandiwara," ujar Lewis.
Ratusan Tewas, Pemerkosaan, dan Kelaparan Ekstrem
Kekerasan di El Fasher dilaporkan telah menyebabkan eksodus massal dan kejahatan mengerikan.
• PBB: Juru bicara kantor hak asasi manusia PBB, Seif Magango, melaporkan bahwa ratusan warga sipil dan pejuang tak bersenjata kemungkinan tewas saat mencoba meninggalkan El Fasher. "Saksi mata mengonfirmasi personel RSF memilih wanita dan gadis dan memerkosa mereka di bawah todongan senjata," katanya.
• WHO: Juru bicara Christian Lindmeier mengonfirmasi laporan setidaknya 460 pasien tewas dalam beberapa serangan di rumah sakit bersalin Saudi di El Fasher.
• MSF: Médecins Sans Frontières (MSF) khawatir akan nasib puluhan ribu orang, mencatat bahwa 100% anak di bawah lima tahun yang tiba di kamp Tawila mengalami malnutrisi. "Mereka adalah korban penyiksaan, tembakan di jalan, bepergian di malam hari, mereka dipaksa di El Fasher untuk memakan pakan ternak, yang menyebabkan masalah perut yang sangat parah, terutama pada anak-anak," kata Giulia Chiopris, dokter anak MSF di Tawila.
• IOM: Menurut International Organization for Migration, lebih dari 60.000 orang mengungsi dari El Fasher dan daerah terdekat antara 26 dan 29 Oktober.
Seorang penyintas dari El Fasher, yang berbicara pada konferensi pers yang diselenggarakan SIHA, menggambarkan kengerian yang ia saksikan: "Beberapa saudara saya terbunuh di depan saya... Ada kelompok warga sipil lain di belakang kami, tetapi mereka dibawa oleh RSF.
Mereka disiksa, dicambuk, dan kendaraan melindas mereka. RSF tidak punya belas kasihan."
Perang saudara antara RSF dan Tentara Sudan (SAF) dimulai pada April 2023 setelah perebutan kekuasaan dan dengan cepat menyebar ke seluruh negeri.
Editor: Redaktur TVRINews
