Writer: Fityan
TVRINews - Alaska
Di Balik Pertemuan Trump-Putin di Anchorage: Sejarah Gelap Transaksi Rp 116 Miliar yang Mengubah Peta Dunia.
Pada pertemuan bersejarah antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin, sebuah pertanyaan lama kembali mengemuka: mengapa Rusia menjual Alaska kepada Amerika Serikat?
Di tengah ketegangan global dan pertemuan puncak yang disebut-sebut sebagai upaya mengakhiri perang di Ukraina, Alaska menjadi latar belakang yang simbolis.
Lebih dari 158 tahun lalu, wilayah ini berpindah tangan dari Kekaisaran Rusia ke AS, sebuah transaksi yang kini kembali dibicarakan.
Pertemuan yang dijadwalkan hari Jumat (15/8) waktu setempat atau sabtu 16/8) pagi WIB akan berlangsung di Joint Base Elmendorf-Richardson, sebuah instalasi militer AS di utara Anchorage.
Lokasi ini tidak hanya menjadi pangkalan militer terbesar di Alaska, tetapi juga simbol pertahanan garis depan Amerika di Kutub Utara.
"Pasukan di sini bertugas di perbatasan terakhir negara kita sebagai garis pertahanan pertama Amerika," ujar Trump saat mengunjungi pangkalan tersebut pada 2019.
Namun, sejarah mengatakan sebaliknya.
Alaska, yang hanya dipisahkan oleh 90 km dari Rusia melalui Selat Bering, adalah properti Rusia hingga 1867.
*Mengapa Rusia Melepas Alaska?*
Keputusan Rusia untuk menjual Alaska bukanlah tanpa alasan. Sejak awal, penguasaan wilayah ini oleh Kekaisaran Rusia diliputi tantangan. Jarak yang sangat jauh dari St. Petersburg, iklim ekstrem, dan kesulitan logistik membuat Alaska menjadi beban.
"Setelah kekalahan memalukan dalam Perang Krimea (1853-1856), Rusia harus mengevaluasi ulang prioritas kolonialnya," tulis Alex Kozul-Wright dalam laporannya untuk media online, Al Jazeera.
Menurutnya, perang tersebut menguras kas negara, membuat Rusia kekurangan dana.
Kozul-Wright juga menambahkan bahwa pada pertengahan tahun 1800-an, Alaska sudah tidak lagi menguntungkan secara ekonomi karena overhunting terhadap berang-berang laut.
Kedekatannya dengan Kanada yang saat itu dikuasai Inggris juga dianggap sebagai potensi kerugian dalam konflik di masa depan.
Kaisar Alexander II kemudian menyimpulkan bahwa menjual Alaska adalah langkah strategis.
Selain untuk mengumpulkan dana yang sangat dibutuhkan, penjualan ini juga untuk mencegah Inggris merebutnya dalam perang mendatang. AS, yang tengah memperluas wilayahnya ke barat, muncul sebagai pembeli yang bersedia.
Transaksi Kontroversial
Pada 30 Maret 1867, AS sepakat untuk membeli Alaska seharga $7,2 juta, atau setara dengan kurang dari 2 sen per hektar.
Meskipun kini dianggap sebagai salah satu pembelian terhebat dalam sejarah, transaksi ini pada awalnya menuai cemoohan.
Para penentang menjuluki pembelian ini sebagai “Kebodohan Seward” (Seward's Folly) atau “Kotak Es Seward,” merujuk pada Menteri Luar Negeri William Seward yang menginisiasi pembelian.
Sebuah kutipan dari New York Daily Tribune pada April 1867 dengan sinis menyebut, "Kita hanya mendapatkan padang pasir salju yang tak bisa dilewati... semua sisanya adalah wilayah yang sia-sia."
Namun, pandangan itu berubah drastis setelah ditemukannya emas besar-besaran di Klondike pada tahun 1896, yang diikuti dengan penemuan cadangan minyak dan gas di Prudhoe Bay pada 1968.
Penyesalan dan Spekulasi
Hari ini, Alaska telah berkembang menjadi negara bagian yang kaya sumber daya, dengan ekonomi yang didukung oleh minyak, perikanan, dan pariwisata. Ini memicu penyesalan di kalangan beberapa pihak di Rusia.
"Jika Rusia menguasai Alaska saat ini, situasi geopolitik dunia akan berbeda," ujar Sergey Aksyonov, seorang politisi Rusia yang pernah menjabat sebagai kepala wilayah Crimea, seperti dikutip Al Jazeera.
Sementara itu, Asisten Presiden Rusia Yuri Ushakov, dalam sebuah jumpa pers, menyinggung kedekatan geografis kedua negara.
"Sangat logis bagi delegasi kami untuk terbang melintasi Selat Bering dan mengadakan KTT penting para pemimpin kedua negara di Alaska," katanya.
Di tengah spekulasi tentang kemungkinan negosiasi pertukaran teritorial untuk mengakhiri perang di Ukraina, sejarah penjualan Alaska menjadi pengingat yang kuat.
Bahwa dalam diplomasi, sebidang tanah bisa menjadi lebih dari sekadar tanah—ia bisa menjadi simbol, komoditas, atau bahkan kunci menuju perdamaian.
Editor: Redaktur TVRINews