
Foto : AP News
Penulis: Fityan
TVRINews - KHAN YOUNIS, Jalur Gaza
Distribusi pangan oleh lembaga baru dukungan Israel-AS berubah jadi mimpi buruk. Warga kelaparan, ditembaki, dan pulang dengan tangan kosong.
Dengan perut kosong dan harapan tipis, Shehada Hijazi, warga Gaza berusia 41 tahun, berangkat sebelum fajar. Ia menempuh perjalanan sejauh 7 kilometer demi satu harapan sederhana: membawa pulang makanan untuk keluarganya yang kini berjumlah sekitar 200 orang di kamp pengungsian Khan Younis.
Namun, sesampainya di lokasi distribusi bantuan yang dikelola Gaza Humanitarian Foundation (GHF) , sebuah lembaga baru yang didukung oleh Israel dan Amerika Serikat harapan itu berubah menjadi mimpi buruk berdurasi 15 menit.
“Itu seperti neraka. Teriakan, dorong-dorongan, dan tiba-tiba... peluru menghujani,” ujar Hijazi kepada Associated Press. Sepupunya yang berusia 23 tahun tertembak di bagian kaki. Mereka berlari, meninggalkan tumpukan kotak makanan yang belum sempat disentuh.
GHF, yang digadang-gadang akan menggantikan peran PBB dalam distribusi bantuan pangan bagi lebih dari 2 juta penduduk Gaza, justru memicu kekacauan di minggu pertamanya. Ribuan orang memadati lokasi distribusi yang dijaga kawat berduri dan pos pemeriksaan militer. Ketika gerbang dibuka, kerumunan melesat dan kekacauan pun pecah.
Militer Israel mengakui telah melepaskan tembakan artileri dan peluru peringatan di beberapa lokasi pusat distribusi minggu ini, namun membantah menargetkan warga sipil. GHF sendiri bersikukuh bahwa tidak ada korban di lokasi distribusinya, bertolak belakang dengan laporan rumah sakit Nasser Khan Younis yang mencatat setidaknya enam tewas dan lebih dari 50 terluka.
Distribusi bantuan melalui GHF juga menuai kritik keras dari PBB dan lembaga kemanusiaan lainnya. Mereka menolak terlibat, menyebut sistem ini tidak manusiawi, tidak transparan, dan rawan disalahgunakan.
“Hunger has hit home,” kata Hijazi. “Kelaparan ini benar-benar nyata. Tapi jika ini cara mendapatkan makanan, lebih baik saya pulang hidup-hidup.”
Kesaksian lainnya menggambarkan situasi yang semakin tidak terkendali: tak ada pengecekan identitas, munculnya geng yang memborong bantuan untuk dijual mahal di pasar, dan rakyat biasa yang harus bertaruh nyawa untuk sebutir nasi.
PBB selama ini menggunakan sistem kupon untuk menghindari kerumunan masif dan menjaga distribusi tetap adil. Namun sistem GHF, tanpa pengawasan ketat dan tanpa penyalur profesional, telah menjelma menjadi permainan hidup-mati.
Meski sempat trauma, Hijazi mengaku akan mencoba lagi pada hari Minggu. “Orang-orang siap saling memakan demi keluarga mereka,” katanya getir.
Gaza kini bukan hanya medan perang, tapi juga panggung tragedi kemanusiaan di mana makanan menjadi kemewahan, dan hidup adalah pertaruhan.
Editor : Redaksi TVRINews
Baca Juga:
| Perang Bawah Tanah Korea Memanas Lewat Media dan Musik |
Editor: Redaksi TVRINews
