
Foto: Bendera negara-negara anggota ASEAN (ANTARA/Shofi Ayudiana)
Penulis: Nirmala Hanifah
TVRINews, Jakarta
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN tahun 2025 ini berlangsung di tengah ketegangan global yang semakin meningkat, khususnya terkait ancaman tarif 50 persen yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Di tengah situasi ini, China mengambil langkah ofensif dengan strategi yang semakin jelas untuk mempererat pengaruhnya di Asia Tenggara melalui pendekatan ekonomi, simbolisme budaya, dan retorika persaudaraan regional.
Dalam beberapa pekan terakhir, Presiden China Xi Jinping intensif mengunjungi tiga negara kunci di kawasan, yakni Vietnam, Malaysia, dan Kamboja.
Melalui diplomasi ekonomi yang dikemas dalam jargon “keluarga Asia,” China tidak hanya menawarkan berbagai proyek investasi strategis, tetapi juga mengusung narasi bahwa ASEAN dan China berbagi takdir dan kepentingan yang sama, terutama dalam menghadapi tekanan dan dominasi Barat.
Sebagai bagian dari manuver diplomasi ini, China mengirim langsung Perdana Menteri Li Qiang ke KTT ASEAN tahun ini, sebuah langkah yang tidak lazim mengingat forum tersebut biasanya terbatas bagi anggota ASEAN.
Sementara itu, kehadiran negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, justru absen, memberikan kesan adanya kekosongan kekuasaan yang siap diisi oleh Beijing.
Data perdagangan menunjukkan bahwa hubungan ekonomi antara ASEAN dan China kini mencapai hampir US $1 triliun, hampir dua kali lipat dari total perdagangan ASEAN dengan Amerika Serikat.
Kesepakatan baru yang mencakup sektor digital, energi hijau, dan pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) tengah dirampungkan, menegaskan arah hubungan jangka panjang antara ASEAN dan China.
Namun, tawaran China ini tidak datang tanpa syarat. Beijing secara halus menekan negara-negara ASEAN agar tidak mendukung kebijakan perdagangan atau aliansi yang dianggap merugikan kepentingan China.
Hal ini menempatkan ASEAN pada posisi sulit untuk menjaga keseimbangan antara dua raksasa ekonomi dunia yang semakin kompetitif.
Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menggunakan momentum ini untuk menegaskan posisi Malaysia sebagai negara netral yang terbuka terhadap semua pihak.
“Malaysia ingin menunjukkan bahwa kami tidak berpihak, tapi siap bekerja sama dengan siapa pun yang menghormati kedaulatan dan prinsip saling menguntungkan,” kata Menteri Komunikasi Malaysia, Fahmi Fadzil
Sementara itu, ASEAN berupaya memperkuat kerja sama internal di tengah tantangan eksternal.
Wakil Perdana Menteri Singapura, Gan Kim Yong, menyoroti bahwa meski lebih dari 90 persen perdagangan intra-ASEAN sudah bebas tarif, hambatan non-tarif dan ketidakpastian global tetap menjadi ancaman besar bagi stabilitas kawasan.
KTT ASEAN kali ini menjadi momen penting untuk menentukan arah geopolitik dan ekonomi Asia Tenggara, di mana negara-negara anggota harus cermat menjaga keseimbangan antara pengaruh China dan tekanan Barat yang terus berlangsung.
Baca Juga: KTT ASEAN 2025 Resmi Dibuka di Malaysia, Myanmar dan Tarif AS jadi Sorotan
Editor: Redaktur TVRINews
